Potensi Nira Menjadi Sumber Energi Ramah Lingkungan
Sabtu, 15 Maret 2025 - 14:07 WIBFoto: bsip
Nira dari pohon aren selama ini hanya dimanfaatkan sebagai bahan baku gula, kolang-kaling, minuman beralkohol, dan berbagai panganan lainnya. Namun, siapa sangka, ternyata aren juga dapat menjadi sumber energi ramah lingkungan.
Di Boalemo, sebuah daerah di Gorontalo, hasil inventarisasi KPHP Boalemo menunjukkan terdapat sekitar 15.000 pohon aren yang tumbuh alami dengan produktivitas tinggi. Satu pohon aren mampu menghasilkan 15-20 liter nira per hari. Awalnya, warga hanya memanfaatkan nira aren untuk keperluan pangan. Namun, berkat pendampingan KPHP Boalemo, nira aren kini diolah menjadi bioethanol.
Dwi Sudharto, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan KLHK, menjelaskan bahwa KPHP Boalemo telah melakukan inventarisasi wilayah dan menemukan banyak pohon aren yang tumbuh alami. “Kami ingin memanfaatkannya sebagai alternatif energi. Salah satu desa binaan kami adalah Desa Bendungan di Kecamatan Manangguh,” ujarnya.
Di Desa Bendungan, terdapat sekitar 4.500 pohon aren. Dengan asumsi satu pohon menghasilkan 15-20 liter nira, potensi produksi mencapai 90.000 liter per hari atau 2,7 juta liter per bulan. Selama ini, potensi ini kurang dimanfaatkan, hanya satu keluarga yang mengolahnya menjadi gula aren. Namun, kini aren mulai diolah menjadi bioenergy.
Keberhasilan Desa Bendungan dalam mengelola nira aren menjadi bioethanol tidak lepas dari adanya kelompok tani dan badan usaha desa. Masyarakat sangat antusias saat diperkenalkan dengan alat pembuat bioethanol. “Kami sudah memiliki alat pembuat bioethanol dari aren dan memiliki hak patennya,” kata Dwi.
Dari segi ekonomi, mengolah nira aren menjadi bioethanol lebih menguntungkan. Misalnya, mengolah 50 liter nira menjadi gula aren hanya menghasilkan 7 kg gula dengan keuntungan Rp5.000 per kg. Sementara, jika diolah menjadi bioethanol, setiap 25 liter nira dapat menghasilkan 2 liter bioethanol dengan kadar 90-92%. Dengan biaya produksi Rp6.700 per liter dan harga jual Rp10.000 per liter, keuntungan yang didapat cukup signifikan.
“Ini yang seharusnya kita kembangkan. Alat ini bisa diserahkan ke desa-desa yang memiliki bahan baku melimpah. Hak paten sudah ada, masyarakat bisa membuat alatnya sendiri atau meminta bantuan kami,” ujar Dwi.
Desa Bendungan menjadi wilayah percontohan dalam pengembangan bioethanol dari nira aren. Dwi berharap keberhasilan ini dapat direplikasi di wilayah lain, terutama di Sulawesi yang kaya akan pohon aren. Namun, tantangan utama adalah pendanaan dan peningkatan kapasitas masyarakat. Peran lembaga litbang dan perguruan tinggi sangat dibutuhkan untuk mendukung keberlanjutan usaha ini.
Selain itu, penting juga untuk memastikan ketersediaan bahan baku. Balai Besar Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta telah memulai penelitian pemuliaan aren dan menemukan varietas unggul seperti aren genjah Kutim yang dapat menghasilkan 25 liter nira per mayang per hari. Varietas lain, “Dalam Akel Toumuung,” juga mampu menghasilkan lebih dari 30 liter nira per mayang per hari.
Nira aren juga berpotensi dikembangkan menjadi bioavtur melalui proses konversi biomassa. Saat ini, KLHK sedang menjajaki kerja sama penelitian dengan ITB untuk mengembangkan potensi ini.
Di kesempatan yang sama, Indroyono Soesilo, Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), mendorong perusahaan hutan tanaman industri (HTI) untuk mengembangkan sektor biomassa. Selama ini, HTI lebih fokus pada pulp and paper, sementara sektor lain seperti energi biomassa, stok karbon, agroforestri, sumber daya air, dan ekowisata kurang diperhatikan.
Indroyono menyebutkan bahwa kontribusi energi baru terbarukan dari biomassa masih sangat minim. Dari total 54.000 MW listrik, hanya 129 MW yang berasal dari biomassa. “Indonesia adalah ‘Saudi Arabia’-nya energi biomassa. Ini seharusnya bisa dikembangkan lebih serius,” tegasnya.
Menurutnya, mengembangkan energi biomassa sebagai usaha sampingan HTI sangat menguntungkan. Misalnya, menjual listrik seharga Rp750 per Kwh sudah memberikan keuntungan Rp150. Jika membangun hutan energi khusus, keuntungan bisa mencapai Rp1.400-Rp2.400 per Kwh.
Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) juga dapat menyerap produk chips (serpihan kayu) dan wood pellet sebagai bahan baku pembangkit listrik, baik untuk Independence Power Plant (IPP) maupun PLN. “Biayanya rendah dan ramah lingkungan karena menggunakan sumber daya terbarukan,” ujarnya.
PLTBm sangat cocok dikembangkan di daerah yang kekurangan listrik, seperti pulau-pulau kecil, pedesaan, dan pegunungan. “Tanpa investasi besar dan bahan bakar tinggi, pola ini bisa menjadi solusi,” kata Indroyono.
Namun, tantangan dalam mengembangkan PLTBm tidak kecil. Biaya penanaman per hektar relatif besar pada tahun-tahun awal, sementara harga listrik masih rendah. Selain itu, pasokan bahan baku harus tetap terjaga. Untuk mendukung hal ini, aksesibilitas yang baik ke kebun tanaman, dekat pelabuhan ekspor, dan infrastruktur yang memadai sangat diperlukan.