Lebah Hutan & Tradisi Madu Sumbawa
Jumat, 10 Januari 2025 - 18:27 WIBMadu Hutan Sumbawa Timurasa Indonesia
Di ketinggian sekitar 20 meter, sarang lebah hitam legam menggantung pada sebuah pohon.
Panjangnya mencapai 1,5 meter, terlihat mengilap dari kejauhan karena pergerakan ribuan lebah kecil yang sibuk. Inilah sarang lebah hutan Apis dorsata, lebah liar yang menjadi penghasil madu Sumbawa yang terkenal.
Melansir mongabay, sarang tersebut ditemukan oleh keluarga Safaruddin di Batulanteh.
Ketika pertama kali ditemukan, ukurannya masih kecil. Untuk menandai kepemilikan, mereka menebang sebuah pohon kecil dan meletakkannya di bawah pohon sarang lebah itu. "Kayu ini adalah tanda bahwa sarang sudah ada yang menemukannya," ujar Safaruddin.
Tradisi setempat menghormati penanda ini. Jika ada orang yang nekat mengambil sarang tanpa izin, mereka bisa dianggap mencuri dan dijauhi masyarakat.
Mencapai lokasi sarang bukanlah perkara mudah. Hutan di Gunung Batulanteh, yang termasuk kawasan hutan lindung KPH Puncak Ngengas Batulanteh, menyuguhkan medan yang menantang.
Jalan berbatu, naik-turun bukit, menyeberangi sungai jernih, hingga memanjat tebing curam menjadi bagian dari perjalanan. Setelah satu jam berjalan kaki, barulah sarang lebah yang menggantung di pohon tinggi terlihat.
Julmansyah, Kepala Balai KPH Puncak Ngengas Batulanteh, menjelaskan bahwa keberadaan madu hutan adalah indikator kesehatan lingkungan. "Semakin baik hutan terjaga, semakin banyak produksi madunya," ujarnya.
Madu Sumbawa terdiri dari dua jenis utama: madu hutan dari lebah Apis dorsata dan madu budidaya dari lebah Trigona, yang sering disebut black honey. Lebah hutan ini biasanya membangun sarang di pohon-pohon tinggi seperti pohon binong.
Namun, sejak 1998, pohon binong masuk daftar merah The International Union for Conservation of Nature (IUCN) karena populasinya terus menurun. "Kami kini sedang mengembangkan budidaya bibit binong untuk melestarikannya," jelas Julmansyah.
Penurunan populasi pohon binong berdampak langsung pada mata pencaharian masyarakat. Ditambah lagi, perubahan iklim turut memengaruhi siklus bunga, sehingga produksi madu menjadi tidak menentu.
Kelompok Sumber Alam KPH Puncak Ngengas Batulanteh, yang dipimpin Sahabuddin, mempraktikkan metode panen madu secara berkelanjutan. Dalam proses ini, sarang lebah dipanen dengan hati-hati agar telur lebah tetap tersisa.
"Jika telur tersisa, kami bisa panen lagi dua minggu kemudian," kata Sahabuddin. Cara ini membantu menjaga populasi lebah dan meningkatkan kualitas madu yang dihasilkan.
Sebagian besar madu Sumbawa yang dihasilkan merupakan madu hutan. Sebelum ada KPH, Jaringan Madu Hutan Sumbawa (JMHS) telah berperan mendampingi masyarakat dalam pengelolaan dan pemasaran madu.
Kehadiran KPH memperluas akses pasar, memberikan manfaat lebih besar bagi masyarakat.
Awal Mula JMHS
JMHS terbentuk pada 2007 sebagai inisiatif untuk meningkatkan kualitas dan pemasaran madu Sumbawa. Julmansyah, salah satu penggeraknya, menceritakan awal mula organisasi ini. Sebelum 2007, pengelolaan madu masih sangat tradisional. "Dulu warga memeras madu menggunakan tangan, sehingga tidak higienis dan memengaruhi kualitasnya," katanya.
Saat Julmansyah pindah dari Lombok dan menjadi pegawai negeri di Sumbawa, ia mulai mendampingi petani madu. Bersama beberapa rekan, ia mengadakan workshop tentang madu yang kemudian melahirkan JMHS.
Sebelum terbentuknya JMHS, petani madu menjual hasilnya ke toko-toko atau kantor dengan harga seadanya. "Kasihan mereka, karena pengetahuan mereka masih terbatas. Cara-cara tradisional yang digunakan juga memengaruhi kualitas madu," kenangnya.
Kini, berkat pendampingan JMHS dan dukungan KPH, madu Sumbawa tidak hanya dikenal lokal, tetapi juga mampu menjangkau pasar yang lebih luas dengan kualitas yang terjaga.