Produktivitas Kakao Nasional Terus Menurun, Kerusakan Kebun Jadi Penyebab Utama
Senin, 18 Agustus 2025 - 19:34 WIBFoto: pixabay
Selama lebih dari sepuluh tahun terakhir, produktivitas kakao di Indonesia mengalami penurunan yang cukup mengkhawatirkan dan menjadi sorotan para pemangku kepentingan.
Berdasarkan data dari Kementerian Koordinator Bidang Pangan, dalam kurun 2012 hingga 2022, produktivitas kakao turun rata-rata 1,20 persen setiap tahun.
Jika pada 2012 hasil panen masih mencapai 850 kilogram per hektare, maka pada 2022 hanya tersisa sekitar 715 kilogram per hektare.
Melansir Kumparan, Ketua Dewan Umum Cocoa Sustainability Partnership (CSP), Ismet Khaeruddin, menyampaikan bahwa kerusakan kebun menjadi faktor dominan di balik turunnya produksi. Ia menegaskan tren penurunan ini telah berlangsung cukup lama dan semakin terasa dalam lima tahun terakhir.
Menurut hasil penelitian CSP bersama sejumlah perguruan tinggi di Sulawesi Tengah, sekitar 69 persen kebun kakao di empat kecamatan yang diteliti mengalami kerusakan dalam skala sedang hingga berat.
Ismet menambahkan, kebun yang masuk kategori kerusakan sedang berarti setidaknya separuh tanaman sudah tidak dapat lagi menghasilkan buah.
Ia mencontohkan kondisi di Sulawesi Tengah, di mana pada 2018 luas kebun kakao tercatat sekitar 290 ribu hektare, namun kini hanya tersisa sekitar 260 ribu hektare.
Pemerintah pun berupaya mencari solusi atas permasalahan ini. Deputi Bidang Koordinasi Usaha Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Pangan, Widiastuti, menjelaskan bahwa saat ini berbagai langkah strategis sedang digencarkan untuk meningkatkan daya saing komoditas perkebunan.
Selain kakao, upaya tersebut juga mencakup tanaman seperti sawit, tebu, kelapa, karet, kopi, gambir, serta komoditas hortikultura.
Widiastuti menilai penurunan produktivitas kakao dipengaruhi oleh banyak hal, mulai dari usia tanaman yang sudah tua, keterbatasan pengetahuan petani, hingga rendahnya penggunaan bibit unggul.
Kondisi tersebut membuat kebun semakin rentan terhadap hama, penyakit, dan perubahan iklim. Ia menegaskan bahwa peningkatan produktivitas kakao tidak mungkin dicapai hanya oleh satu pihak, melainkan memerlukan kerja sama dari berbagai sektor.