Nasionalisme Cokelat: Membangkitkan Pasar Domestik di Tengah Tantangan Budidaya Kakao Rakyat
Minggu, 31 Agustus 2025 - 09:53 WIBFoto: pixabay
Meskipun cokelat telah menjelma menjadi komponen gaya hidup dan kuliner global, serta mudah ditemui dalam beragam bentuk seperti produk lokal, permen, es krim, kue, dan minuman di berbagai kafe dan pasar Indonesia, tingkat konsumsinya di dalam negeri masih tergolong rendah.
Data Kementerian Perindustrian tahun 2023 menunjukkan angka konsumsi per kapita hanya sebesar 0,49 kg per tahun—jauh di bawah rata-rata dunia yang mencapai 2,3 kg. Sebagai perbandingan, negara-negara seperti Swiss (11,6 kg), Austria (8,1 kg), dan Jerman (7,9 kg) memiliki tingkat konsumsi yang sangat tinggi.
Fakta ini justru membuka peluang besar untuk mengembangkan pasar domestik melalui strategi nasionalisme ekonomi berbasis kakao, dengan mendorong konsumsi produk lokal.
Namun, di balik potensi tersebut, mayoritas perkebunan kakao Indonesia justru dikelola oleh petani kecil—sekitar 10,8 juta rumah tangga menurut Sensus Pertanian 2023—yang masih menghadapi berbagai tantangan serius seperti usia tanaman yang sudah tua, serangan hama, penyakit, serta keterbatasan akses modal dan pengetahuan tentang teknik pertanian modern.
Kondisi tersebut sering memicu petani untuk menjual biji kakao secara langsung setelah panen tanpa melalui proses fermentasi guna memperoleh pendapatan tunai dengan cepat. Imbasnya, kualitas biji kakao yang dihasilkan menjadi rendah, sehingga berujung pada harga jual yang tidak optimal dan pendapatan petani yang minim.
Diperlukan sinergi dari Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat untuk meningkatkan kualitas dari hasil panen serta mendorong pertambahan petani lokal yang membudidayakan tanaman cokelat.